Filsafat Pendidikan dan Implikasinya
Filsafat adalah berfikir
radikal. Berfikir radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi
berfikir filsafati dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari
pendidikan. Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis,
epistomologis dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang
menggugat identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan
pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimanasuatu pendidikan yang
“apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah
pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk
apasuatu pendidikan itu digelar ?
Makalah singkat dan
sederhana --yang dibuat agak
terburu-buru-- ini berusaha
untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu semua.
Semoga bisa memperkaya
wawasan kita sebagai para pekerja pendidikan (education
workers) !
Tiga Paradigma Utama Pendidikan
Paradigma adalah world view,
cara memandang
dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma
yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan
sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita
menentukan variabel-variabel pendidikan[1] lainnya.
Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem
pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah,
pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
Dalam menjawab
pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban yang
lazimnya muncul. Yang pertama,
adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given,telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu
dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli
filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan
Konservatif.
Pendidikan konsevatif
ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim
yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini
berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial
yang ada (seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan,
kebodohan) adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah
determinasi historis (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan
peran pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara
gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh
masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati
output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan
di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah”
masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa.
Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian
wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak
gape !
Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma
ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu
sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang
kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang
malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota[2]. Pendidikan ini memang lebih memusatkan
pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak
menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai
adalah human development, self
management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal
ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training)
yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan
masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need
of achievement (virus
berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak
digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and under development
countries)untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk
mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang
paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang
tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya. Efek menetes yang diyakini
oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan. Masyarakat bawah enggan
disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat yang malas.
Inilah pola pendidikan
yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis.
Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan
menyatu di tengah-tengah masyarakatnya[3]. Paradigma ini memandang akar
ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu
dapat berupa sistem politik (yang
otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan
menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti
kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem
pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status
quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan
akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang
ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo
Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk
menghapuskan buta huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia[4].
Pola pendidikan yang
kritis ini nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang
produk dari pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita
saksikan di Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO
“kiri” yang anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari
paradigma kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang[5].
Kesadaran
Manusia
Setiap praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran
ini dapat didefinisikan juga sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern)yang mempengaruhi
penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari
pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat
yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi
turunan dari tiga paradigma pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran magis. Secara
arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat yang
masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa
kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib,
mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus
di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat
ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis,
adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan sosial
yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan kesadaran
magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran naif. Masyarakat dengan kesadaran naif
adalah masyarakat yang memandang bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari
kelemahan manusia. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan
kesadaran naif terbentuk pada masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural
(alam) adalah kekuatan terbesar yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini.
Untuk itu kekuatan alam harus ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak
bisa ditundukkan oleh manusia, yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka
manusia itulah yang lalai dan lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin
yang berfungsi untuk membantu manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan
mesin-mesin yang menggantikan manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik
dan sosial besar dunia (kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo
mengistilahkan masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat pada tahap
ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal) adalah pendidikan yang
memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran kritis. Yaitu
masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh sistem
yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu pengetahuan,
masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah bergeser dari
kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan manusia. Untuk itu
kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus ditundukkan dengan “ilmu”
dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo menyebut masyarakat pada
tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya pendidikan kritis-lah yang
dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
Tujuan
Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga
tujuan pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal
ini berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social
act) utama manusia yang
diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan komunikasi dan
tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work) adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap
guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan
memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan
karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati
(nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)[6]. Manusia nekrofili akan merasa utuh
kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, meskipun tidak
dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini hampir 90% bermain pada
wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan tujuan kekaryaan ini
memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya, disamping juga sedikit
teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest
Hilgard dan Gordon Bower dari Standford University[7] :
Dari teori S-R :
· Murid harus aktif
· Frekuensi latihan yang cukup tinggi
sangat penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya
ingatan) dilakukan belajar secara berulang-ulang.
· Sangat diperlukan re-enforcement:
murid yang dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi
ganjaran.
· Generalisasi dan diskriminasi
memberi kesan akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga
belajar adalah penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
· Tingkah laku yang baru dicapai lewat
peniruan model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
· Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda
dari sikap, atau dalam drive state ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive educationyang didasarkan pada eksperimen
“penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
· Organisasi pengetahuan yang akan
disajikan tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar
berlangsung dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan
sampel sampai keseluruhan yang lebih kompleks.
· Secara kultural belajar relatif.
Situasi belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh
sub-kebudayaan dimana orang merasa memiliki.
· Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan
yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid mengusahakan
sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak apa-apa yang
dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
· Penentuan tujuan belajar oleh murid
sangat penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu
sangat menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan
datang.
· Pemikiran yang berbeda-beda yang
mengacu pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya
mempunyai satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari teori motivasi dan kepribadian :
· Memperhatikan kemampuan
masing-masing murid sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar
masing-masing individu sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.
· Perkembangan setelah bayi lahir,
pengaruh keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk
diperhatikan.
· Tingkat ketegangan (anxiety) mempengaruhi belajar manusia antara
satu individu dan yang lainnya.
· Situasi yang sama mungkin saja
menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan
untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian tujuan.
· Organisasi motif dan nilai yang
terkandung dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung
belajar apa-apa yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk
menciptakan masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan
komunikasi juga kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen
dari training ke-karya-an.
Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling
menghormati, menghargai, saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam
lingkungan belajar yang emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi
individu yang dikelola sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok.
Pendidikan ini, bila dilepaskan dari kepentingan kapitalisme, dapat
menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai
nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi
kekuatan kelompok (group dynamic) memakai teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt
diciptakan oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
· Inti dari konsep pengaruh medan
adalah, “Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh kekuatan medan”. Istilah
kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu fisika, yang dalam medan
magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet yang masing-masing
mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada
kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada aktor-aktor secara
individual yang berada di suatu lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
· Lewin menjelaskan bahwa perilaku
seseorang merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengaruh
lingkungan (environment) sekitarnya. B = f (P.E)
· Menurut Lewin ada tiga kekuatan yang
berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-), influence (+) dan
controll (-/+).
· Totalitas dari ketiga kekuatan di
atas menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang
disebut dengan group dynamic
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya
menyadari kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training
kekaryaan), namun juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah
dalam training interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga
mereka dapat membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai asumsi-asumsi
training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training interaksi dan
pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka training untuk pembebasan
lebih sulit lagi untuk dijumpai dan didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi
literatur-literatur dari Paulo Freire dapat kita jadikan rujukan dalam
menggagas training perubahan di masyarakat kita.
Penutup
Demikian makalah singkat
ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini meliputi kajian
mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan, peran
guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya Allah akan dibahas pada tulisan berikutnya.
1. Mansour Fakih, Russ
Dilt, et all. Pendidikan
Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD
Books, Yogyakarta, 2001
2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika Kelompok, Penerbit
Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3. Hildegard Wenzler-Cremer
& Maria Fischer-Siregar, Proses
Pengembangan Diri, Permainan dan latihan dinamika kelompok, Grasindo,
Jakarta, 1993.
4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan Dinamika
Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu,
penerbit dan tahun terbit lupa.
6. Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed,
Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S,
tahun terbit lupa.
7. Mansour Fakih, Utomo
Danandjaya, et all. Panduan
Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa (sekitar 1984)
8. Makalah Andragogy dan Dynamic Group (terj.) dari Malcolm Knowles (tahun terbit
lupa)
9. Buku-buku mengenai
pendidikan orang dewasa dan pendidikan kritis lainnya.
yang siap menggoreskan kebenaran
tanpa ragu, tumbangkan kedzoliman ...
(Tekad, Izzatul Islam)
[1] Variabel pendidikan itu adalah metodologi, teknik, evaluasi, media, peran
fasilitator, kurikulum dan seterusnya.
[2] Sehingga masyarakat desa perlu dicegah datang ke kota dengan screening KTP yang biasanya terjadi paska
lebaran. Padahal siapa suruh sawah-sawah di desa dijadikan waduk, pabrik dan
villa ? Siapa suruh pula harga pupuk dan insektisida mahal ? Siapa suruh juga
pemerintah lebih mengutamakan pengembangan teknologi mercusuar ketimbang
teknologi yang langsung menyentuh kepentingan dasar masyarakat, seperti
berlomba-lomba bikin pesawat dan melupakan membuat traktor sederhana dan murah.
Hal ini persis seperti ungkapan penyair Wiji Tukul, “mereka lebih suka menanam besi dan
membangun tembok !”
[3] Bukan sekedar konsep link and match yang malah berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan industri
dan akhirnya menciptakan manusia-manusia yang menjadi sekrup-sekrup kapitalisme
yang hilang nilai kesejatian manusianya. Manusia akhirnya hanya dipandang
sebagai asset industri, yang dipandang bila ia membawa manfaat. Dan kumpulan manusia
dipandang sebagai kumpulan angka-angka yang bila “hilang” satu digit saja maka
itu bukan masalah besar (that is no big deal!).
[5] Salah satunya adalah wacana pendidikan profetik yang terinspirasi dari
gagasan ilmu sosial profetik-nya Kuntowijoyo yang mengambil makna dari Q.S.
3:110.
[7] Ernest Hilgard dan Gordon Bower, Teories of Learning 3rd Edition, New Jersey: Practice Hall, 1966, Training of
Trainer Manual, Washington, D.C, 1982, hal. 1-57 dikutip dari Russ Dilts, et
all. Pendidikan Popular, Insist & REaD Yogya, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar